Kamis, 26 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian keempat)

Oleh: Agus Hermawan

Setidaknya dalam dua buku saya terdahulu materi inti yang keempat yakni kecerdasan majemuk telah dibicarakan. Dalam buku kedua, Belajar dari (Model) Kehidupan, materi tersebut saya bahas melalui judul “Mereka Bagaikan Bibit-bibit Bunga” sedangkan pada buku ketiga, Jangan Caci-Maki Kegelapan Nyalakanlah Sebatang Lilin, saya membincangkan secara lengkap dalam tulisan berjudul “Upacara Bendera”. Nah, pada tulisan ini saya berusaha menuangkan presentasi di sekolah ini dengan lebih singkat, sederhana, namun tidak mengurangi makna yang diinginkan dalam bentuk tulisan.

Kenapa dalam pendahuluan presentasi saya “memamerkan” Mesut Ozil, Andrea Hirata, grup band Nidji, dan Albert Einstein? Yang pasti sebagai stimulus untuk materi inti siapa idola hidupmu? dan sekaligus untuk materi inti kecerdasan majemuk. Inginnya saya “pamerkan juga” Panji (yang sangat akrab dengan berbagai binatang, khususnya buaya dan ular, Affandi (sang maestro lukis), ustadz Mansyur (agamawan), dan atau salah seorang kawan saya (guru) hanya karena waktu yang disediakan bakalan tidak mencukupi maka saya batasi hanya “empat tokoh” tersebut.

Mesut Ozil sudah dapat dipastikan memiliki gaji miliaran per tahun dengan kehebatannya mengolah si kulit bundar, bola. Dengan permainan yang elegan Ozil telah mengundang beberapa klub termuka Eropa untuk meminang menjadi salah seorang skuadnya. Kabar terakhir Real Madrid (kabar di minggu ketiga Agustus 2010 sudah deal), klub dambaan semua pesepakbola dunia, sedang melakukan pendekatan kepada Werder Bremen demi mendapatkan Ozil. Pembaca, Ozil adalah contoh manusia yang memiliki kecerdasan kinestetik dan mampu dioptimalkan sehingga membuat dirinya diidolai para pecinta sepakbola. Percayakah pembaca bahwa satu, dua, bahkan puluhan peserta didik kita memiliki kecerdasan yang sama dengan Ozil? Perhatikan mereka yang hebat dalam bermain basket, bola voli, futsal, tari, dan lain-lain adalah calon-calon atlit atau penari berprestasi.

Satu, dua, bahkan puluhan peserta didik kita memiliki kompetensi menulis puisi, cerpen, bercerita (mendongeng), berpidato, atau melawak mereka adalah manusia yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. Bahkan, bila kita mampu mengeksplorasi kecerdasan ini bisa jadi mereka menjadi penulis hebat bak Andrea Hirata atau pelawak top bak Sule.

Jangan heran bila peserta didik kita saat ini lebih banyak yang berminat menggeluti dunia musik khususnya bermain gitar, drum, organ, atau sebagai vokalis karena memang profesi ini sangat menjajikan. Ketenaran, uang, dan sanjungan menjadi buah keberhasilan mereka. Siapa yang tak kenal Nidji, Slank, Dewa, The Changcuters, D’Masiv, Ungu, Radja, The Titans, The Virgin, dan lain-lain yang begitu menghebohkan dunia musik Indonesia. Mereka adalah talenta-talenta yang memiliki kecerdasan musik. Para personel band ini selagi duduk di bangku SMA persis seperti peserta didik kita belum ngetop tapi bakalan ngetop.

Masih ingatkah pembaca—khususnya pendidik—sipakah peserta didik yang mewakili sekolah kita dalam olimpiade matematika, kimia, fisika, atau astronomi tahun lalu? Nah, mereka sehimpun dengan Albert Einstein merupakan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan matematik-logik yang tinggi. Salahkah bila mereka sering diposisikan sebagai manusia jenius oleh kawan-kawannya? Karena waktu yang mereka miliki sering digunakan untuk berkutat dengan hitung-menghitung.

Lalu apabila diantara peserta didik kita ada yang memiliki kemampuan melukis dengan bagus bisa jadi mereka adalah salah seorang calon pengganti Affandi dimasa mendatang. Lukis melukis dan penataan ruangan merupakan dua diantara kemampuan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan spasial tinggi.

Sebesar apa pun ular atau buaya yang ditemui Panji pasti bisa dijinakkan. Mampukah kita melakukan seperti yang Panji lakukan? Tentu tidak semua bisa. Tapi jangan kaget banyak peserta didik kita yang memiliki kemampuan seperti Panji setidaknya menyukai, mencintai, atau memelihara binatang. Mereka adalah yang memiliki kecerdasan natural menonjol.

Adakalanya di kelas kita temukan peserta didik yang lebih suka menyendiri, lebih banyak berpikir tentang diri sendiri, bahkan memiliki cita-cita sebagai psikolog atau penulis novel. Refleksi merupakan bagian dari kehidupan oleh karena itu intuisi mereka lebih tajam dibanding kawan-kawannya. Inilah yang oleh Howard Gardner dicap sebagai orang-orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal. Masih ingat di kelas siapa yang memiliki prilaku demikian?

Seringkali kita memerhatikan ada beberapa peserta didik yang oleh kawan-kawannya dipercaya sebagai pemecah masalah, baik tentang keretakan persahabatan, tentang hubungan dengan kekasih, atau masalah keluarga. Bisa jadi dalam diri mereka sangat mencuat kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini dikenal juga sebagai kecerdasan bergaul dan sekarang dipercaya sebagai kecerdasan yang sangat berperan dalam keberhasilan hidup seseorang. Siapa peserta didik yang memiliki kecerdasan demikian?

Pembaca, paparan di atas dengan konten yang sama namun dengan “gaya” penyampaian berbeda saya suguhkan buat mereka. Tentu saja saya sependapat dengan si penggagas kecerdasan majemuk, Howard Gardner, bahwa pada setiap individu setidaknya memiliki delapan kecerdasan—sekarang telah berkembang menjadi sebelas—dan setuju bahwa pada diri peserta didik kita pun pasti ada. Memang, kedelapan kecerdasan ini jarang mencuat optimal pada seseorang namun yang jelas satu atau dua pasti. Ada beberapa faktor yang memengaruhi semisal lingkungan, pengalaman masa kecil, dan kecelakaan pada otak sehingga berkembang atau tidaknya kecerdasan-kecerdasan tersebut.

Kecerdasan-kecerdasan di atas sesungguhnya tak dapat berdiri atau bergerak sendiri. Pada kenyataan, justru saling mendungkung dan terkait semisal ketika pesepakbola akan melakukan tendangan penalti, selain telah memiliki kecerdasan kinestetik tentu saja kecerdasan matematik-logik bergerak. Untuk menentukan ke arah mana bola ditendang? sekuat apa tendangannya? Di sinlah kecerdasan matematik-logik berfungsi.
Tujuan saya bercerita tentang kecerdasan majemuk agar mereka sedini mungkin mengetahui bahwa seluruh manusia cerdas tidak ada yang bodoh. Bisa jadi paparan di atas mampu mengernyitkan dahi—artinya berpikir—bahwa mereka semua cerdas dan minimal memiliki satu atau dua kecerdasan menonjol. Lalu saya berharap sedini mungkin kecerdasan yang menonjol tersebut perlahan-lahan dicuatkan sehingga kelak menjadi bekal hidup. Saya merasa yakin bahwa mereka bagai bibit bunga—memiliki harum dan warna—yang mempunyai keunikan masing-masing dan setelah menjadi bunga dewasa akan mengarungi hidup dengan profesi yang beraneka.

Pastinya untuk materi inti terakhir yakni modalitas belajar akan saya bahas pada segmen terakhir tulisan ini. Jadi pembaca buka lagi blog ini....

4 komentar:

d'worldoffey mengatakan...

huaa pak saya mau dong bukunya
hihihi :) ..
jadi intinya semua orang itu cerdas ! tapi kenapa kebnyakan orang gk sadar kalau misalkan mereka itu memiliki kecerdasaan yg amat luar biasa. bahkan kadang-kadang mereka cenderung men'judge diri mereka bodoh ?

Anonim mengatakan...

saya baca lanjutannya pak klo udah ada

Ala Pendidik An mengatakan...

Buat D'worldoffey:
bukunya bisa dibeli di TB Togamas Jl. Supratman. Betul, semua orang cerdas, hanya saja kebanyakan belum mengetahui kecerdasan apa yang paling menonjol. Proses mengetahui mana yang paling menonjol itulah perlu waktu, pengalaman, tantangan, dan karya (mulanya ga disengaja!).Nah, karena ga tahu mereka memiliki aneka kecerdasan jadilah merasa bodoh heheheh.... So, kamu merasa cerdas apa d'?

Ala Pendidik An mengatakan...

Buat Pradi: udah ada... nikmati aja ok?! komentari kontennya dong, heheh.....