Sabtu, 14 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian kedua)

Oleh Agus Hermawan

Setelah mereka merasa bahwa untuk mencapai cita-cita yang ditancapkan adalah 90% perjuangan diri sendiri maka tiba saatnya saya sugesti mereka bagaimana menerima dan menguasai seluruh mata pelajaran yang dibelajarkan di SMA (sekalipun sesuai standar isi sebanyak 16 mata pelajaran—hebat kan di Indonesia heheh….) dengan pikiran terbuka. Berat memang, 16 mata pelajaran per minggu namun saya menginginkan kenyataan ini sebagai suatu tantangan bagi mereka agar cita-cita tercapai.

Begini pembaca, ide saya bercerita tentang kisah orang tersesat didasari bahwa mata pelajaran apa pun, sebanyak apa pun, suatu saat pasti bermakna bagi mereka. Kisahnya….

Pada suatu hari di perbukitan gersang—lebih menyerupai padang tandus, tanpa pohon, tiada makanan, apalagi air, seorang pemuda yang tersesat tengah berjalan gontai dengan peluh membanjiri tubuh disertai tarikan napas yang nyaris menjadi satu-satunya suara di bukit ini, menuju ke arah barat. Yang dia cari hanyalah air. Air. Air yang dalam bayangan dapat menghilangkan rasa dahaga dan lelah. Sampai tengah hari ini belum terlihat tanda-tanda sumber air berada. Sejauh mata memandang hanya bukit gersang diselimuti debu-debu beterbangan. Panas menyengat, matahari tepat di atas ubun-ubun, baju dan kulit pun telah dilapisi debu namun rasa haus tak membuat pemuda ini menghentikan langkahnya.

Namun, tepat ketika si pemuda memutuskan untuk menghentikan langkahnya terlihat dari kejauhan seonggok benda mirip sebuah batu dengan tinggi sekira setengah meter. Batukah? Binatangkah? Atau manusia? Berbagai pertanyaan bermunculan dalam kepala si pemuda. “Daripada penasaran aku dekati aja!

Duapuluh meter dari benda tersebut si pemuda baru menyadari bahwa benda itu adalah manusia. Seorang kakek dengan rambut panjang yang telah memutih (klo penulis masih ada itemnya 20% heheh….). Posisi duduk si kakek telungkup dengan kepala menunduk di atas lutut, rambut bak kapas yang sedang dimainkan angin, bergoyang melambai-lambai pun suara dengkuran halus seolah memamerkan kelelahan yang sangat. Tiada pohon sebatang pun di sekitarnya.

Kek?!” sapa si pemuda. Tiada jawaban. “Pasti si kakek capek sekali nih?” pikirnya. Untuk kedua kali si pemuda kembali menyapa, “Kek?!” masih tiada jawaban. Dalam hening, berbagai pikiran negatif menghinggapi si pemuda. “Jangan-jangan si kakek telah… ihhhhh…!”. “Baiknya ku tinggal saja… sampai ada orang lain yang menemukan dan menguburkannya. Aku udah gak punya tenaga lagi….

Menghilangkan rasa penasaran, untuk ketiga kalinya si pemuda menyapa sambil memegang pundak si kakek, “kek?!”. “Astagfirulloh…” seru si pemuda sambil meloncat ke belakang. Apa yang terjadi? Ketika si pemuda memegang pundak si kakek ternyata seluruh tubuh si kakek pun turut bergoyang, pikir si pemuda berarti si kakek telah meninggal persis seperti dugaan.

Tengah hari dan rasa lelah begitu kuat dengan tiada benda apa pun di sekitar, si pemuda memutuskan untuk meninggalkan si kakek tanpa dikubur layaknya manusia. “Kek… maafkan aku….” Si pemuda pun memutar badan ke arah semula dan ketika baru mulai melangkah, “Anak muda langkah dan arah yang kau tempuh sudah benar….” Seru si kakek tanpa mengangkat kepala sedikitpun. “Hahhh….”, kaget si pemuda. Tanpa menghiraukan kekagetan si pemuda, “Kira-kira 200 meter ke arah yang kau tuju terdapat sebuah bukit kecil dan di bawahnya akan kau temukan sebuah sungai dengan aliran air yang jernih.” Si kakek melanjutkan “Di sungai itu, kau ambil benda apa pun yang kau temukan. Ingat ambil dan bawa benda apa pun yang kau temukan karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.” setelah berpesan demikian si kakek kembali seperti kondisi semula, diam tanpa kata (D’Masiv kaleee….). Sepi. Hening.

Setengah linglung dan bingung tanpa berucap terimakasih, si pemuda melangkah untuk melanjutkan perjalanan ke arah semula. “Kakek gila kali… masa di tengah tanah tandus begini ada sungai?” gumamnya. “Duaratus meter lagi… pasti si kakek membohongiku!” Bagaimana pun ucapan si kakek telah membuat si pemuda berpikir terus, “Tapi bisa jadi si kakek memotivasiku agar terus berjalan sampai aku menemukan perkampungan barangkali….” Langkah demi langkah berjalan tak terasa puncak bukit telah dicapai. Dan… seekor ular raksasa tampak bergerak liar tepat di bawah bukit. Dengan sisik-sisik yang dihiasi sinar matahari menambah semakin memesona gerak sang ular. Bahkan tampak seperti menari di antara hamparan rerumputan yang menghijau.

Alloh maha besar!” seru si pemuda. Semakin didekati ternyata ular tersebut adalah sebuah sungai yang mengalir di dalamnya miliaran mol (satu mol setara dengan 18 gram air atau 6,02x1023 molekul air—maaf menggunakan formula kimia heheh….) air. Berlarilah si pemuda menuju sungai dan spontan melompat “bbyyuuurrrrrr….” Seluruh badan ditenggelamkan, sesekali kepala di keluarkan untuk menikmati oksigen di udara. Begitu nikmat, seluruh lelah habis bahkan dengan meminum air yang jernih rasa haus musnah. Sungai dengan kedalaman sekira semeter ini benar-benar membuat si pemuda tersenyum ceria saking nikmat dengan berkali-kali berucap “terimakasih ya Alloh!

Seluruh badan dibersihkan mulai dari ujung kaki hingga kepala. Tiba-tiba, ketika membersihkan bagian wajah dan kepala, otak si pemuda tersentuh dengan pesan si kakek. “Di sungai itu, kau ambil benda apa pun yang kau temukan. Ingat ambil dan bawa benda apa pun yang kau temukan karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.” Pesan si kakek beberapa kali melintas. “Apa yang harus aku ambil? Di sini yang ada hanya potongan ranting-ranting pohon dan kerikil-kerikil kecil serta pasir!” gumamnya. “Apa aku harus membawa semua ini? Mustahil, tidak beguna, berat lagi….!

Setelah seluruh badan segar kembali, si pemuda berniat meninggalkan sungai, “tapi daripada gak nuruti perintah si kakek bawa aja dikit kerikil….” Akhirnya si pemuda memasukkan beberapa butir kerikil ke saku bajunya. Hari menjelang malam ketika si pemuda beranjak dari sungai. Anehnya, tanah di bagian barat sungai sangat subur. Tanaman tumbuh di mana-mana demikian juga pohon-pohon beringin menampakkan keangkuhannya. Semilir angin sore membuai wajah. Suasana ini membuat si pemuda terasa mengantuk.

Bila tidak ada yang mengganggu sungguh begitu nikmat si pemuda tertidur. Sesuatu mengganggu tidur, setiap mengubah posisi terdengar suara tidak nyaman dan badan terasa sakit akibat menindih sesuatu. Bangunlah si pemuda, sambil mencaci maki benda pengganggu yang tiada lain adalah kerikil-kerikil yang ada di saku baju lalu dikeluarkanlah. Alangkah kaget si pemuda ketika kerikil-kerikil tertimpa sinar rembulan ternyata yang ada bukanlah puluhan kerikil namun puluhan berlian yang menyilaukan mata.

Pembaca, ada makna yang dalam dari cerita di atas. Setidaknya saya memaknai bahwa mereka, peserta didik kelas X di SMA ini, telah memilih jalan yang benar dengan terus melanjutkan pendidikan dari SMP ke jenjang yang lebih tinggi. Di kelas X mereka dihadapkan pada 16 mata pelajaran yang tidak mudah untuk dipahami seluruhnya. Konon, kondisi ini melebihi jumlah mata pelajaran yang terdapat di negara-negara lain di belahan bumi ini. Nah, agar peserta didik tidak merasa berat menghadapi kenyataan tersebut, saya sampaikan bahwa seluruh mata pelajaran yang mereka terima merupakan kerikil-kerikil seperti pada cerita di atas. Artinya, tidak seluruh mata pelajaran mereka sukai bahkan pasti ada yang tidak mereka sukai—dibenci.

Melelahkan bahkan menyakitkan bila memikirkan begitu banyak kerikil di sekolah tetapi pada suatu saat puluhan kerikil tersebut akan menjadi berlian yang memesona. Maksud saya adalah bahwa seluruh mata pelajaran baik matematika, sejarah, bahasa Inggris, bahasa dan sastra Indonesia, kimia, muatan lokal, dan lain-lain dikemudian hari akan turut memperkuat kecakapan bahkan mewarnai kehidupan mereka. Tidak percaya? Adakah diantara pembaca yang sampai saat ini merasa lemah dalam berhitung? Atau tidak begitu cakap berbahasa inggris? Atau merasa sulit ketika diminta menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan? Bisa jadi pembaca—seperti halnya saya—tidak menyukai beberapa mata pelajaran ketika bersekolah.

Adakah diantara pembaca yang ingin kembali ke bangku SMA atau SMP untuk belajar matematika lagi agar lebih baik dalam hitung-menghitung? Adakah diantara pembaca yang ingin kembali ke bangku SMA atau SMP untuk memperbaiki kompetensi bahasa Inggris? Adakah diantara pembaca yang mau kembali ke jenjang SMA atau SMP agar kemampuan menulis meningkat? Rasanya mustahil alias imposible di tengah kesibukan sehari-hari yang luar biasa dan usia yang tidak sesuai lagi. Itulah yang dipesankan si kakek, “… karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.

Kisah orang tersesat ini, dalam pikiran saya dapat merangsang agar mereka merasa bahwa seluruh mata pelajaran yang dihidangkan dalam standar isi adalah penting tetapi bergantung apakah mau diambil/dipelajari semua atau hanya sebagian saja. Dan pembaca, makna terdalam dari kisah tersebut adalah saya menanamkan kepada mereka raihlah ilmu apa pun yang mereka temukan karena kelak aneka ilmu tersebut akan dibutuhkan ketika hidup di lingkungan yang heterogen dan tentu banyak tantangan. Bagaimana menurut Anda, pembaca?

Bagian kedua artikel ini kiranya jeda di sini…. Tetap buka blog ini agar pembaca dapat menikmati lanjutan artikel ini. Daggggg….

2 komentar:

F mengatakan...

wah iya benar pak, mumpung saya masih bisa belajar harus dinikmati tp harus bener juga belajarnya . hehe .
Firdausi XI.ia.2

Ala Pendidik An mengatakan...

Buat Firdausi: yg pasti ga ada pelajaran yg sia2... So, udah dibaca lanjutannya?