Minggu, 05 September 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian kelima--terakhir)

Oleh: Agus Hermawan

Tentu saja untuk mewujudkan cita-cita, mampu meraih ilmu apa pun, kreatif, dan mengoptimalkan kecerdasan di atas mereka perlu “suasana” yang pas. Bagaimana suasana tersebut mereka ciptakan atau kondisikan? Ada sebuah teori yang kemudian saya suguhkan kembali buat mereka yakni modalitas belajar (gaya belajar).

Sesungguhnya gaya belajar manusia bagaikan sidik jari berbeda untuk setiap individu. Andai sebuah keluarga hidup dengan tiga orang anak maka dapat dipastikan ketiganya memiliki gaya belajar berbeda. Apa sih gaya belajar?

Gaya belajar merupakan cara kerja otak kita untuk menyerap berbagai informasi dan sering disebut sebagai modalitas belajar. Jadi modalitas belajar adalah cara otak menyerap informasi yang masuk melalui berbagai indra. Kita akan merasa lebih nyaman bila belajar bahkan bekerja sesuai dengan gaya belajar atau gaya bekerja yang dominan pada diri masing-masing.

Menurut penelitian beberapa para ahli psikologi maupun manajemen, disepakati secara umum adanya dua katagori utama tentang bagaimana kita belajar. Pertama yang diebut dengan modalitas, yaitu bagaimana kita menyerap informasi, dan kedua, dominasi otak yaitu cara kita mengatur dan mengolah informasi tersebut. Nah, gaya belajar manusia itu adalah kombinasi dari bagaimana menyerap dan kemudian mengatur sekaligus mengolah informasi.

Sebuah gagasan dari Barbara Prashnig menyatakan bahwa gaya belajar yang dimiliki manusia dapat dikategorikan menjadi empat jenis. Apa saja? Gaya belajar auditori, visual, kinestetis, dan taktil.

Siapa diantara kalian yang lebih menyukai guru bercerita atau menyampaikan materi pelajaran dengan cara pemaparan?” Beberapa peserta didik mengangkat tangan tanda menyukai. Nah, berarti mereka lebih cocok memahami materi pelajaran dengan mendengarkan sekaligus mengandalkan hal itu. Biasanya orang demikian merasa sulit menyerap pengetahuan melalui tulisan karena rada repot belajar dengan cara membaca atau menulis.

Beda lagi dengan gaya belajar visual yang lebih menyukai belajar melalui kemampuan penglihatan atau belajar dengan memerhatikan tayangan-tayangan visual. Mereka yang visual biasanya memiliki kekuatan terhadap warna dan keartisitikan sehingga informasi atau pengetahuan lebih mudah diserap dengan cara ini. Biasanya manusia yang memiliki gaya visual lebih sulit untuk mengungkapkan gagasan atau ide dengan kata-kata, bahkan kesulitan dalam berdialog karena kurang begitu cocok dengan suara.

Informasi dapat lebih mudah diserap dengan cara eksperimen. Itulah salah satu ciri dari orang yang bergaya kinestetis. Mereka pun merasa kurang nyaman apabila kondisi belajar kaku tanpa adanya aktivitas, ini yang membuat mereka tidak bisa duduk berlama-lama. Adakalanya mereka ditemui sering bergerak atau berpindah bangku. Dan mereka pun lebih nyaman dengan guru yang mengajar tidak duduk manis di meja depan, aktivitas guru menjadi daya tarik bagi mereka.

Menggunakan (keyboard) komputer atau objek belajar lain akan mempermudah dalam menyerap informasi bagi mereka yang memiliki gaya belajar taktil. Mereka merasa lebih mudah memahami dan mengingat pengetahuan melalui sentuhan. Tidak heran orang seperti ini akan merasa penasaran bila tidak memegang model segitiga sama sisi ketika guru matematika sedang menjelaskan materi tersebut. Mereka akan lebih memahami penjelasan tentang telur bila memegang langsung karena baginya tangan menjadi alat penerima utama untuk mengingat informasi.

Saya tekankan kepada mereka bahwa tidak mungkin keempat gaya belajar ini berdiri atau bekerja tersendiri tetapi pasti saling terkait hanya saja salah satu pasti dominan. Oleh sebab itu dapat dipastikan seseorang bakalan memiliki gaya belajar yang khas.

Pembaca, itulah lima materi inti yang saya persembahkan buat mereka. Estimasi saya, mereka akan tergerak otaknya setelah memahami dan memikirkan bagaimana mengimplementasikan dalam kehidupan. Dengan mencanangkan cita-cita yang diinspirasi oleh sang idola, mengetahui makna dari seluruh ilmu yang mereka hadapi, memiliki jiwa kreatif tinggi serta mau melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, mengetahui potensi diri sesuai pengetahuan kecerdasan majemuk, dan bagaimana mengoptimalkan modalitas belajar sesuai gaya masing-masing, semoga sepuluh tahun mendatang mereka mencapai apa-apa yang dicita-citakan bahkan tidak mustahil sepuluh tahun mendatang justru mereka diidolai oleh anak-anak SMP dan SMA. Mungkinkah?

Puzzle adalah suatu permainan yang disukai anak-anak pun tak sedikit orang dewasa. Betapa tidak kepingan (potongan-potongan) gambar yang berjumlah puluhan atau ratusan dirancang kembali untuk menjadi sebuah gambar utuh sesuai yang diinginkan. Setelah kepingan dirancang menjadi sebuah gambar utuh persis seperti yang diinginkan maka puaslah si perancang (pemain). Bisa jadi puzzle adalah sebuah gambar utuh dari hidup seseorang. Untuk menjadi orang berhasil setidaknya mereka telah memiliki cita-cita (gambaran atau imajinasi) dan agar dapat dicapai harus melalui berbagai perjuangan, pengalaman, dan pengetahuan—ilmunya. Lima materi inti yang saya sajikan bisa jadi merupakan lima keping puzzle kehidupan mereka. Berapa keping potongan puzzle yang mereka butuhkan agar cita-cita tercapai? Tergantung. Tergantung setinggi apa cita-citanya, semikin tinggi cita-cita bisa saja kepingan puzzle yang dibutuhkan lebih banyak. Sesungguhnya tidak penting sebanyak apa kepingan puzzle yang dibutuhkan, yang terpenting justru bagaimana mereka merancang kepingan tersebut menjadi sebuah gambar yang utuh dan indah. Bukan begitu pembaca?

Akhirnya, saya tutup presentasi dengan sebuah pesan pada mereka bahwa pada diri orang hebat tidak pernah ada kata impossible tetapi yang ada I’m possible. So, bagaimana dengan kita?



Terima kasih saya sampaikan buat Sdr. Parlindungan Marpaung, Howard Gardner, Tony Buzan, Barbara Prashnig, Stephen Covey, Bobbi DePorter, Andrea Hirata, dan Colin Rose buku-buku karya Anda begitu kuat menginspirasi bahan presentasi dan tulisan ini.