Kamis, 26 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian keempat)

Oleh: Agus Hermawan

Setidaknya dalam dua buku saya terdahulu materi inti yang keempat yakni kecerdasan majemuk telah dibicarakan. Dalam buku kedua, Belajar dari (Model) Kehidupan, materi tersebut saya bahas melalui judul “Mereka Bagaikan Bibit-bibit Bunga” sedangkan pada buku ketiga, Jangan Caci-Maki Kegelapan Nyalakanlah Sebatang Lilin, saya membincangkan secara lengkap dalam tulisan berjudul “Upacara Bendera”. Nah, pada tulisan ini saya berusaha menuangkan presentasi di sekolah ini dengan lebih singkat, sederhana, namun tidak mengurangi makna yang diinginkan dalam bentuk tulisan.

Kenapa dalam pendahuluan presentasi saya “memamerkan” Mesut Ozil, Andrea Hirata, grup band Nidji, dan Albert Einstein? Yang pasti sebagai stimulus untuk materi inti siapa idola hidupmu? dan sekaligus untuk materi inti kecerdasan majemuk. Inginnya saya “pamerkan juga” Panji (yang sangat akrab dengan berbagai binatang, khususnya buaya dan ular, Affandi (sang maestro lukis), ustadz Mansyur (agamawan), dan atau salah seorang kawan saya (guru) hanya karena waktu yang disediakan bakalan tidak mencukupi maka saya batasi hanya “empat tokoh” tersebut.

Mesut Ozil sudah dapat dipastikan memiliki gaji miliaran per tahun dengan kehebatannya mengolah si kulit bundar, bola. Dengan permainan yang elegan Ozil telah mengundang beberapa klub termuka Eropa untuk meminang menjadi salah seorang skuadnya. Kabar terakhir Real Madrid (kabar di minggu ketiga Agustus 2010 sudah deal), klub dambaan semua pesepakbola dunia, sedang melakukan pendekatan kepada Werder Bremen demi mendapatkan Ozil. Pembaca, Ozil adalah contoh manusia yang memiliki kecerdasan kinestetik dan mampu dioptimalkan sehingga membuat dirinya diidolai para pecinta sepakbola. Percayakah pembaca bahwa satu, dua, bahkan puluhan peserta didik kita memiliki kecerdasan yang sama dengan Ozil? Perhatikan mereka yang hebat dalam bermain basket, bola voli, futsal, tari, dan lain-lain adalah calon-calon atlit atau penari berprestasi.

Satu, dua, bahkan puluhan peserta didik kita memiliki kompetensi menulis puisi, cerpen, bercerita (mendongeng), berpidato, atau melawak mereka adalah manusia yang memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi. Bahkan, bila kita mampu mengeksplorasi kecerdasan ini bisa jadi mereka menjadi penulis hebat bak Andrea Hirata atau pelawak top bak Sule.

Jangan heran bila peserta didik kita saat ini lebih banyak yang berminat menggeluti dunia musik khususnya bermain gitar, drum, organ, atau sebagai vokalis karena memang profesi ini sangat menjajikan. Ketenaran, uang, dan sanjungan menjadi buah keberhasilan mereka. Siapa yang tak kenal Nidji, Slank, Dewa, The Changcuters, D’Masiv, Ungu, Radja, The Titans, The Virgin, dan lain-lain yang begitu menghebohkan dunia musik Indonesia. Mereka adalah talenta-talenta yang memiliki kecerdasan musik. Para personel band ini selagi duduk di bangku SMA persis seperti peserta didik kita belum ngetop tapi bakalan ngetop.

Masih ingatkah pembaca—khususnya pendidik—sipakah peserta didik yang mewakili sekolah kita dalam olimpiade matematika, kimia, fisika, atau astronomi tahun lalu? Nah, mereka sehimpun dengan Albert Einstein merupakan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan matematik-logik yang tinggi. Salahkah bila mereka sering diposisikan sebagai manusia jenius oleh kawan-kawannya? Karena waktu yang mereka miliki sering digunakan untuk berkutat dengan hitung-menghitung.

Lalu apabila diantara peserta didik kita ada yang memiliki kemampuan melukis dengan bagus bisa jadi mereka adalah salah seorang calon pengganti Affandi dimasa mendatang. Lukis melukis dan penataan ruangan merupakan dua diantara kemampuan manusia-manusia yang memiliki kecerdasan spasial tinggi.

Sebesar apa pun ular atau buaya yang ditemui Panji pasti bisa dijinakkan. Mampukah kita melakukan seperti yang Panji lakukan? Tentu tidak semua bisa. Tapi jangan kaget banyak peserta didik kita yang memiliki kemampuan seperti Panji setidaknya menyukai, mencintai, atau memelihara binatang. Mereka adalah yang memiliki kecerdasan natural menonjol.

Adakalanya di kelas kita temukan peserta didik yang lebih suka menyendiri, lebih banyak berpikir tentang diri sendiri, bahkan memiliki cita-cita sebagai psikolog atau penulis novel. Refleksi merupakan bagian dari kehidupan oleh karena itu intuisi mereka lebih tajam dibanding kawan-kawannya. Inilah yang oleh Howard Gardner dicap sebagai orang-orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal. Masih ingat di kelas siapa yang memiliki prilaku demikian?

Seringkali kita memerhatikan ada beberapa peserta didik yang oleh kawan-kawannya dipercaya sebagai pemecah masalah, baik tentang keretakan persahabatan, tentang hubungan dengan kekasih, atau masalah keluarga. Bisa jadi dalam diri mereka sangat mencuat kecerdasan interpersonal. Kecerdasan ini dikenal juga sebagai kecerdasan bergaul dan sekarang dipercaya sebagai kecerdasan yang sangat berperan dalam keberhasilan hidup seseorang. Siapa peserta didik yang memiliki kecerdasan demikian?

Pembaca, paparan di atas dengan konten yang sama namun dengan “gaya” penyampaian berbeda saya suguhkan buat mereka. Tentu saja saya sependapat dengan si penggagas kecerdasan majemuk, Howard Gardner, bahwa pada setiap individu setidaknya memiliki delapan kecerdasan—sekarang telah berkembang menjadi sebelas—dan setuju bahwa pada diri peserta didik kita pun pasti ada. Memang, kedelapan kecerdasan ini jarang mencuat optimal pada seseorang namun yang jelas satu atau dua pasti. Ada beberapa faktor yang memengaruhi semisal lingkungan, pengalaman masa kecil, dan kecelakaan pada otak sehingga berkembang atau tidaknya kecerdasan-kecerdasan tersebut.

Kecerdasan-kecerdasan di atas sesungguhnya tak dapat berdiri atau bergerak sendiri. Pada kenyataan, justru saling mendungkung dan terkait semisal ketika pesepakbola akan melakukan tendangan penalti, selain telah memiliki kecerdasan kinestetik tentu saja kecerdasan matematik-logik bergerak. Untuk menentukan ke arah mana bola ditendang? sekuat apa tendangannya? Di sinlah kecerdasan matematik-logik berfungsi.
Tujuan saya bercerita tentang kecerdasan majemuk agar mereka sedini mungkin mengetahui bahwa seluruh manusia cerdas tidak ada yang bodoh. Bisa jadi paparan di atas mampu mengernyitkan dahi—artinya berpikir—bahwa mereka semua cerdas dan minimal memiliki satu atau dua kecerdasan menonjol. Lalu saya berharap sedini mungkin kecerdasan yang menonjol tersebut perlahan-lahan dicuatkan sehingga kelak menjadi bekal hidup. Saya merasa yakin bahwa mereka bagai bibit bunga—memiliki harum dan warna—yang mempunyai keunikan masing-masing dan setelah menjadi bunga dewasa akan mengarungi hidup dengan profesi yang beraneka.

Pastinya untuk materi inti terakhir yakni modalitas belajar akan saya bahas pada segmen terakhir tulisan ini. Jadi pembaca buka lagi blog ini....

Senin, 16 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian ketiga)

Oleh: Agus Hermawan

So, apa makna dari cerita berikut yaitu nelayan Jepang? Kisah ini saya persembahkan sebagai materi inti ketiga dengan harapan agar seluruh peserta didik mampu mencuatkan kreativitas dalam menghadapi segala tantangan. Pembaca, begini kisahnya….

Orang Jepang terkenal suka mengonsumsi ikan segar. Bagi mereka ikan yang tidak segar bukan merupakan pilihan karena menurut mereka telah kehilangan aroma sedap. Oleh sebab itu bila para nelayan membawa hasil tangkapan tidak segar lagi, dijamin tidak akan laku. Beberapa tahun ke belakang konon jumlah ikan yang masih tersedia di laut terdekat kawasan Jepang telah berkurang oleh karena itu para nelayan harus mencari ikan hingga tengah laut. Ternyata untuk membawa ikan-ikan pulang ke darat memerlukan waktu cukup lama sehingga mengakibatkan ikan tangkapan mati. Hal ini berakibat pada minat konsumen, mereka tidak menyukai ikan yang telah mati. Penjualan pun menurun. Nelayan rugi.

Para nelayan berembug untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Beberapa usul bermunculan sampai disepakati untuk melaksanakan sebuah usul yang diperkirakan dapat mengatasi masalah. Usul tersebut begini, kapal-kapal penangkap ikan dilengkapi dengan freezer raksasa sehingga ikan hasil tangkapan sekalipun sudah mati namun diharapkan masih segar. Beberapa hari ikan-ikan yang di freezer-kan memang laku. Tetapi tidak bertahan lama, konsumen mulai merasakan ketidaksegaran ikan-ikan ini yang ujung-ujungnya mereka complaint lagi dan meminta ikan-ikan segar.

Untuk kali kedua para nelayan berembug. Seperti pada rembug pertama mereka berusaha mencari solusi agar ikan yang ditangkap lebih segar. Puluhan usul didiskusikan hingga mereka sepakat untuk melaksanakan salah satu usulan yang paling realistis yaitu membuat kolam besar dari kayu yang kemudian ditempatkan di bagian kapal. Tekniknya adalah setelah kolam besar selesai dibuat kemudian di posisikan di atas kapal lalu diisi dengan air laut secukupnya baru ikan hasil tangkapan di tuangkan ke dalamnya. Realistis kan?

Kolam diisi dengan ikan-ikan dengan jumlah besar sehingga selain ikan tangkapan masih hidup setiba di darat, jumlah pun sangat banyak. Kapal berkolam besar ini ternyata mampu manjadi solusi karena ikan tangkapan diterima konsumen masih dalam keadaan hidup. Hanya satu kekurangan, ternyata ikan-ikan hasil tangkapan sekalipun masih hidup namun dengan kondisi loyo alias lemah. Kondisi ini pun membuat konsumen tidak begitu gembira sehingga mereka kembali meminta ikan yang lebih segar.

Ujian kembali dihadapi para nelayan. Rembug adalah sarana diskusi untuk menemukan solusi maka dari itu tidak lama kemudian mereka sepakat mengadakan rembug ketiga. Dipesankan agar sebelum rembug masing-masing membawa solusi masalah. Seperti biasa diskusi dan perdeban terjadi sebelum diputuskan langkah apa yang akan diambil. Siapa pun berhak memberikan ide dan membantu menyempurnakan sebuah ide yang penting menghasilkan sebuah solusi realistis. Akhirnya dari berbagai usul dan ide diputuskan untuk tidak membongkar kolam dalam kapal tetapi kolam hanya diisi kira-kira ¾ ikan tangkapan dan setelah itu “ide gila” nya adalah memasukkan ikan hiu kecil hidup ke dalam kolam dengan tujuan agar ikan tangkapan senantiasa waspada sebelum dimangsa hiu.

Memang si hiu kecil akan mengonsumsi ikan tangkapan namun dalam jumlah sedikit tetapi berdampak terhadap ikan-ikan menjadi selalu dalam kondisi waspada dan terus bergerak bebas sehingga ketika tiba di darat ikan-ikan tetap segar. Luar biasa!
Kreatif adalah melihat hal-hal yang dilihat orang lain tetapi mengerjakan yang tidak dikerjakan orang lain. Itulah pelajaran yang diperoleh dari para nelayan Jepang. Kaizen adalah memperbaiki sesuatu tiada henti sekalipun hanya sedikit-sedikit. Itulah pelajaran dari orang Jepang. Kaizen merupakan budaya hal ini terbukti dari barang-barang elektronik, kendaraan bermotor, dan produk lain senantiasa mengalami perbaikan-perbaikan ke arah lebih bagus.

Manfaat tersebut saya tularkan pada peserta didik baru agar dalam hidup mereka senantiasa untuk secara kreatif melakukan perbaikan-perbaikan sehingga dari hari ke hari kehidupan pun membaik. Hari ini pasti lebih baik dari kemarin.
Habituasi ini insya Allah akan membiasakan mereka melakukan perubahan-perubahan, tidak alergi menghadapi perubahan, dan tidak sebatas hanya penikmat perubahan tetapi justru sebagai pelaku atau pencipta perubahan.

Rasanya segmen artikel yang ketiga berakhir di sini. Pembaca, kita jumpa lagi pada segmen berikutnya tetap blog ini....

Sabtu, 14 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian kedua)

Oleh Agus Hermawan

Setelah mereka merasa bahwa untuk mencapai cita-cita yang ditancapkan adalah 90% perjuangan diri sendiri maka tiba saatnya saya sugesti mereka bagaimana menerima dan menguasai seluruh mata pelajaran yang dibelajarkan di SMA (sekalipun sesuai standar isi sebanyak 16 mata pelajaran—hebat kan di Indonesia heheh….) dengan pikiran terbuka. Berat memang, 16 mata pelajaran per minggu namun saya menginginkan kenyataan ini sebagai suatu tantangan bagi mereka agar cita-cita tercapai.

Begini pembaca, ide saya bercerita tentang kisah orang tersesat didasari bahwa mata pelajaran apa pun, sebanyak apa pun, suatu saat pasti bermakna bagi mereka. Kisahnya….

Pada suatu hari di perbukitan gersang—lebih menyerupai padang tandus, tanpa pohon, tiada makanan, apalagi air, seorang pemuda yang tersesat tengah berjalan gontai dengan peluh membanjiri tubuh disertai tarikan napas yang nyaris menjadi satu-satunya suara di bukit ini, menuju ke arah barat. Yang dia cari hanyalah air. Air. Air yang dalam bayangan dapat menghilangkan rasa dahaga dan lelah. Sampai tengah hari ini belum terlihat tanda-tanda sumber air berada. Sejauh mata memandang hanya bukit gersang diselimuti debu-debu beterbangan. Panas menyengat, matahari tepat di atas ubun-ubun, baju dan kulit pun telah dilapisi debu namun rasa haus tak membuat pemuda ini menghentikan langkahnya.

Namun, tepat ketika si pemuda memutuskan untuk menghentikan langkahnya terlihat dari kejauhan seonggok benda mirip sebuah batu dengan tinggi sekira setengah meter. Batukah? Binatangkah? Atau manusia? Berbagai pertanyaan bermunculan dalam kepala si pemuda. “Daripada penasaran aku dekati aja!

Duapuluh meter dari benda tersebut si pemuda baru menyadari bahwa benda itu adalah manusia. Seorang kakek dengan rambut panjang yang telah memutih (klo penulis masih ada itemnya 20% heheh….). Posisi duduk si kakek telungkup dengan kepala menunduk di atas lutut, rambut bak kapas yang sedang dimainkan angin, bergoyang melambai-lambai pun suara dengkuran halus seolah memamerkan kelelahan yang sangat. Tiada pohon sebatang pun di sekitarnya.

Kek?!” sapa si pemuda. Tiada jawaban. “Pasti si kakek capek sekali nih?” pikirnya. Untuk kedua kali si pemuda kembali menyapa, “Kek?!” masih tiada jawaban. Dalam hening, berbagai pikiran negatif menghinggapi si pemuda. “Jangan-jangan si kakek telah… ihhhhh…!”. “Baiknya ku tinggal saja… sampai ada orang lain yang menemukan dan menguburkannya. Aku udah gak punya tenaga lagi….

Menghilangkan rasa penasaran, untuk ketiga kalinya si pemuda menyapa sambil memegang pundak si kakek, “kek?!”. “Astagfirulloh…” seru si pemuda sambil meloncat ke belakang. Apa yang terjadi? Ketika si pemuda memegang pundak si kakek ternyata seluruh tubuh si kakek pun turut bergoyang, pikir si pemuda berarti si kakek telah meninggal persis seperti dugaan.

Tengah hari dan rasa lelah begitu kuat dengan tiada benda apa pun di sekitar, si pemuda memutuskan untuk meninggalkan si kakek tanpa dikubur layaknya manusia. “Kek… maafkan aku….” Si pemuda pun memutar badan ke arah semula dan ketika baru mulai melangkah, “Anak muda langkah dan arah yang kau tempuh sudah benar….” Seru si kakek tanpa mengangkat kepala sedikitpun. “Hahhh….”, kaget si pemuda. Tanpa menghiraukan kekagetan si pemuda, “Kira-kira 200 meter ke arah yang kau tuju terdapat sebuah bukit kecil dan di bawahnya akan kau temukan sebuah sungai dengan aliran air yang jernih.” Si kakek melanjutkan “Di sungai itu, kau ambil benda apa pun yang kau temukan. Ingat ambil dan bawa benda apa pun yang kau temukan karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.” setelah berpesan demikian si kakek kembali seperti kondisi semula, diam tanpa kata (D’Masiv kaleee….). Sepi. Hening.

Setengah linglung dan bingung tanpa berucap terimakasih, si pemuda melangkah untuk melanjutkan perjalanan ke arah semula. “Kakek gila kali… masa di tengah tanah tandus begini ada sungai?” gumamnya. “Duaratus meter lagi… pasti si kakek membohongiku!” Bagaimana pun ucapan si kakek telah membuat si pemuda berpikir terus, “Tapi bisa jadi si kakek memotivasiku agar terus berjalan sampai aku menemukan perkampungan barangkali….” Langkah demi langkah berjalan tak terasa puncak bukit telah dicapai. Dan… seekor ular raksasa tampak bergerak liar tepat di bawah bukit. Dengan sisik-sisik yang dihiasi sinar matahari menambah semakin memesona gerak sang ular. Bahkan tampak seperti menari di antara hamparan rerumputan yang menghijau.

Alloh maha besar!” seru si pemuda. Semakin didekati ternyata ular tersebut adalah sebuah sungai yang mengalir di dalamnya miliaran mol (satu mol setara dengan 18 gram air atau 6,02x1023 molekul air—maaf menggunakan formula kimia heheh….) air. Berlarilah si pemuda menuju sungai dan spontan melompat “bbyyuuurrrrrr….” Seluruh badan ditenggelamkan, sesekali kepala di keluarkan untuk menikmati oksigen di udara. Begitu nikmat, seluruh lelah habis bahkan dengan meminum air yang jernih rasa haus musnah. Sungai dengan kedalaman sekira semeter ini benar-benar membuat si pemuda tersenyum ceria saking nikmat dengan berkali-kali berucap “terimakasih ya Alloh!

Seluruh badan dibersihkan mulai dari ujung kaki hingga kepala. Tiba-tiba, ketika membersihkan bagian wajah dan kepala, otak si pemuda tersentuh dengan pesan si kakek. “Di sungai itu, kau ambil benda apa pun yang kau temukan. Ingat ambil dan bawa benda apa pun yang kau temukan karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.” Pesan si kakek beberapa kali melintas. “Apa yang harus aku ambil? Di sini yang ada hanya potongan ranting-ranting pohon dan kerikil-kerikil kecil serta pasir!” gumamnya. “Apa aku harus membawa semua ini? Mustahil, tidak beguna, berat lagi….!

Setelah seluruh badan segar kembali, si pemuda berniat meninggalkan sungai, “tapi daripada gak nuruti perintah si kakek bawa aja dikit kerikil….” Akhirnya si pemuda memasukkan beberapa butir kerikil ke saku bajunya. Hari menjelang malam ketika si pemuda beranjak dari sungai. Anehnya, tanah di bagian barat sungai sangat subur. Tanaman tumbuh di mana-mana demikian juga pohon-pohon beringin menampakkan keangkuhannya. Semilir angin sore membuai wajah. Suasana ini membuat si pemuda terasa mengantuk.

Bila tidak ada yang mengganggu sungguh begitu nikmat si pemuda tertidur. Sesuatu mengganggu tidur, setiap mengubah posisi terdengar suara tidak nyaman dan badan terasa sakit akibat menindih sesuatu. Bangunlah si pemuda, sambil mencaci maki benda pengganggu yang tiada lain adalah kerikil-kerikil yang ada di saku baju lalu dikeluarkanlah. Alangkah kaget si pemuda ketika kerikil-kerikil tertimpa sinar rembulan ternyata yang ada bukanlah puluhan kerikil namun puluhan berlian yang menyilaukan mata.

Pembaca, ada makna yang dalam dari cerita di atas. Setidaknya saya memaknai bahwa mereka, peserta didik kelas X di SMA ini, telah memilih jalan yang benar dengan terus melanjutkan pendidikan dari SMP ke jenjang yang lebih tinggi. Di kelas X mereka dihadapkan pada 16 mata pelajaran yang tidak mudah untuk dipahami seluruhnya. Konon, kondisi ini melebihi jumlah mata pelajaran yang terdapat di negara-negara lain di belahan bumi ini. Nah, agar peserta didik tidak merasa berat menghadapi kenyataan tersebut, saya sampaikan bahwa seluruh mata pelajaran yang mereka terima merupakan kerikil-kerikil seperti pada cerita di atas. Artinya, tidak seluruh mata pelajaran mereka sukai bahkan pasti ada yang tidak mereka sukai—dibenci.

Melelahkan bahkan menyakitkan bila memikirkan begitu banyak kerikil di sekolah tetapi pada suatu saat puluhan kerikil tersebut akan menjadi berlian yang memesona. Maksud saya adalah bahwa seluruh mata pelajaran baik matematika, sejarah, bahasa Inggris, bahasa dan sastra Indonesia, kimia, muatan lokal, dan lain-lain dikemudian hari akan turut memperkuat kecakapan bahkan mewarnai kehidupan mereka. Tidak percaya? Adakah diantara pembaca yang sampai saat ini merasa lemah dalam berhitung? Atau tidak begitu cakap berbahasa inggris? Atau merasa sulit ketika diminta menuangkan gagasan ke dalam bentuk tulisan? Bisa jadi pembaca—seperti halnya saya—tidak menyukai beberapa mata pelajaran ketika bersekolah.

Adakah diantara pembaca yang ingin kembali ke bangku SMA atau SMP untuk belajar matematika lagi agar lebih baik dalam hitung-menghitung? Adakah diantara pembaca yang ingin kembali ke bangku SMA atau SMP untuk memperbaiki kompetensi bahasa Inggris? Adakah diantara pembaca yang mau kembali ke jenjang SMA atau SMP agar kemampuan menulis meningkat? Rasanya mustahil alias imposible di tengah kesibukan sehari-hari yang luar biasa dan usia yang tidak sesuai lagi. Itulah yang dipesankan si kakek, “… karena kau tak akan bisa kembali lagi ke tempat ini.

Kisah orang tersesat ini, dalam pikiran saya dapat merangsang agar mereka merasa bahwa seluruh mata pelajaran yang dihidangkan dalam standar isi adalah penting tetapi bergantung apakah mau diambil/dipelajari semua atau hanya sebagian saja. Dan pembaca, makna terdalam dari kisah tersebut adalah saya menanamkan kepada mereka raihlah ilmu apa pun yang mereka temukan karena kelak aneka ilmu tersebut akan dibutuhkan ketika hidup di lingkungan yang heterogen dan tentu banyak tantangan. Bagaimana menurut Anda, pembaca?

Bagian kedua artikel ini kiranya jeda di sini…. Tetap buka blog ini agar pembaca dapat menikmati lanjutan artikel ini. Daggggg….

Kamis, 12 Agustus 2010

Saya Sepuluh Tahun Mendatang (bagian pertama)

Oleh: Agus Hermawan

Salah seorang kepala sekolah—yang di mata saya memiliki jiwa kreatif—mengundang saya untuk memberikan motivasi kepada peserta didik baru tahun pelajaran 2010-2011 dalam acara masa orientasi siswa (MOS) di sekolah yang dipimpinnya.

Sebuah SMA swasta di kawasan Bandung Timur ini telah beberapa kali meminta saya untuk berbagi dengan sivitas akademika, mulanya meminta saya untuk memberikan materi tentang kurikulum. Belakangan, kepala sekolah ini mengundang saya khusus untuk menjelaskan bagaimana cara menulis kreatif dan efektif dengan metode mind map kepada seluruh guru. Lebih aktual lagi sang kepala sekolah meminta saya untuk memotivasi peserta didik kelas XII dalam menghadapi kehidupan dengan bekal ilmu yang telah dan akan mereka gali lagi. Bukan sekedar memotivasi dalam menghadapi ujian nasional (UN) lebih jauh bagaimana mereka menghadapi hidup setelah UN.

Juli 2010, saya menerima undangannya, untuk memotivasi peserta didik kelas X dalam menghadapi pencarian ilmu di sekolah ini. Apa yang harus saya sampaikan dan tanamkan pada anak-anak usia 15-16 tahunan ini? Rasanya bila eksplorasi pengetahuan mereka dibuka dengan informasi aktual untuk penanaman semangat menggali ilmu akan lebih mudah diterima dan bermakna.

Lima inti materi yang saya sampaikan adalah satu; siapa idola hidupmu? (untuk mencapai cita-cita, diri sendiri yang berperan). Dua, kisah orang tersesat (raih ilmu apa pun yang kamu temukan); tiga, nelayan Jepang (perubahan-kaizen-kreatif); empat, kecerdasan majemuk (potensi diri); dan lima, modalitas belajar (gaya belajar). Kelima materi inti ini saya kemas lewat sebuah judul SAYA SEPULUH TAHUN MENDATANG. Kata ‘saya’ pada judul tersebut adalah mereka, peserta didik kelas X di SMA ini.

Melalui tayangan power point, saya tampilkan pesepakbola dari Jerman yang begitu mencuat namanya saat pentas piala dunia 2010 di Afrika Selatan, Mesut Ozil. Dengan animation fade, saya tuliskan sebuah pertanyaan, “siapakah atlit ini?”. Lalu dengan animation fly in, saya tampilkan foto Ozil. Dan mereka, baik putra maupun putri, menjawab dengan serentak “Mesut Ozil!” Luar biasa! Ternyata ingatan mereka terhadap informasi atau event yang baru diikuti begitu melekat sehingga prediksi saya betul bahwa mereka sangat menikmati pesta sepakbola terakbar sedunia ini.

Pada slide berikutnya saya tayangkan Andrea Hirata, diikuti grup band Nidji, dan diakhiri oleh Albert Einstein. Dengan pertanyaan yang sama siapakah orang yang ditampilkan, seluruh siswa hampir serentak menjawab dengan benar, khusus saat Nidji ditampilkan mereka menjawab nyaris histeris.

Setelah “keempat” tokoh di atas saya tampilkan, pertanyaan berikutnya, “apakah kamu ingin seperti mereka?”. Pembaca pasti dapat memprediksi apa jawaban dari mereka.
Ok, kalau begitu sekarang saya minta kalian memikirkan seseorang yang menjadi idola dalam hidupmu, bisa dari kalangan olahragawan, artis/aktris/aktor, politikus, agamawan, ilmuwan, tokoh masyarakat, atau siapa pun. Dalam waktu satu menit pejamkan mata kalian. Hitungan ketiga mulai pejamkan lalu pikirkan siapa tokoh idolamu. Satu…dua…tiga…

Silahkan buka mata kalian. Sekarang saya tidak akan bertanya siapa tokoh idolamu? Namun pertanyaan saya, kenapa kamu mengidolainya? Cukup dijawab dengan satu atau dua kata saja. Paham?” Lalu, saya menunjuk satu, dua, hingga sepuluh peserta didik. “Kenapa kamu mengidolainya?” Jawaban mereka; gesit, pintar, jujur, kaya, mau berkorban, ulet, sabar, berani, soleh, dan rajin.

Pembaca sepuluh jawaban peserta didik ini dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni yang bersifat dipengaruhi oleh orang lain atau faktor luar dan yang datang atau muncul dari diri sendiri. Kaya, bisa jadi merupakan faktor warisan bukan sebatas hasil kerja keras si tokoh, atau kaya merupakan dampak dari keberhasilan si tokoh. Namun sembilan jawaban lain merupakan faktor yang memang dimiliki setiap orang. Gesit, pintar, jujur, dan lain-lain merupakan anugrah Tuhan pada manusia, tinggal bagaimana mengoptimalkannya.

Pembaca, saya ingin mengatakan kepada mereka bahwa, bila ingin diidolai—menjadi orang berhasil—maka 90% yang dapat mewujudkan adalah faktor yang datang dari diri sendiri. Lho? Iya, dari sepuluh jawaban orang yang diidolai—berhasil—sembilan yang memengaruhi adalah faktor dari diri sendiri. Jadi sembilan dibagi sepuluh dikali 100% adalah 90%. Maksud saya adalah bila mereka sepuluh tahun kemudian ingin menjadi orang berhasil maka harus memiliki kemauan, tekad, dan cita-cita yang lahir dari diri sendiri. Hanya 10% faktor luar yang akan memengaruhi keberhasilan hidup mereka. Lebih jauh, saya ingin mengatakan bahwa mereka jangan manja dengan hidup, jangan berpikiran semua keberhasilan dicapai serba instan, dan faktor terkuat yang menentukan keberhasilan hidup mereka adalah mereka sendiri.


Maaf pembaca, tulisan disambung pada edisi berikutnya ya? Habis masih banyak yang perlu dibahas yakni empat meteri inti lagi. Yo…sampai jumpa pada artikel berikutnya....